Kesenjangan Sosial dan Pengaruh Waktu
Tidak terasa dunia yang kita tempati sudah berusia sangat lansia, kondisi alam yang semakin memprihatinkan, dengan beban jutaan manusia yang jumlahnya semakin ramai, ditambah dengan polusi, limbah, dan faktor eksternalitas lainnya yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem di Bumi, demi  mengejar keinginan, kekuasaan dan materialistik yang selalu menjadi dambaan dalam hidup. Banyak dari kita melupakan cara hidup yang dinamis atas dasar kemasyarakatan, bukannya terhanyut dengan memuaskan keinginan dan kepuasan individualisnya.
Berbicara tentang keinginan dan kepuasan pada manusia tidak akan ada habisnya, tidak terdapat titik temu. Terlalu sulit menggapai kepuasan, dan terlalu banyak keinginan yang harus dipenuhi. Sebaliknya mereka yang berhasrat ala kadar kebutuhan lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang memprioritaskan keinginan, karena biasanya orang yang prioritasnya keinginan lebih mengejar hal yang berbau duniawi tanpa memikirkan maslahah lingkungan sekitarnya, terbenam dalam kehidupan individualis dan keegoisan, demi kepuasan pribadi, bahkan tidak ada waktu untuk melaksanakan acara yang bertajuk sosial, tidak menghadiri Maulud Nabi yang diadakan di kampung, tidak pernah berpartisipasi dalam pengajian di kampung, lupa bahwa dirinya adalah makhluk sosial yang harus menjaga hubungan erat dengan masyarakat.
Lalai dalam mengumpulkan harta memang dapat menimbulkan kesenjangan sosial, bayangkan berapa banyak yang dibutakan mata hatinya oleh harta, berapa banyak koruptor tanpa malu meraup uang rakyat yang akan dialokasikan untuk kepentingan umum. Hidup dibalik cercaan orang-orang sungguh sangat terintimidasi, maka sudah pasti hidupnya tidak bahagia, meskipun bergelimpangan harta, dia pasti mendapatkan sanksi sosial, dikucilkan, dan diacuhkan. Bukankah lebih bahagia ketika kita menerima gaji yang halal dengan keringat sendiri, kemudian kita membeli makanan untuk kedua orangtua, dan kita melihat keduanya memakan makanan yang kita beli dengan lahapnya. Sangat tidak bisa dipungkiri bahwa kita tidak merasakan haru bahagia. Sedangkan mempunyai banyak harta hanya untuk kepuasan individu dan dia menjadi puas hanya karena bisa mengisi perutnya sendiri tanpa berbagi kebahagiaan dengan yang lainnya, maka kewarasan jiwanya perlu dipertanyakan.
Inilah dampak dunia moderen, yang kaya akan semakin mencapai puncak tertinggi dan yang miskin akan semakin merosot jatuh ke bawah. Perkembangan moderen yang bisa dirasakan oleh sebagian pihak membuat mereka acuh terhadap yang membutuhkan, minder untuk memberi pertolongan, bahkan satu rumah dengan rumah yang berdekatan tidak mengenal satu sama lain, hal ini menjadi sangat memprihatinkan.

Melayat ke rumah yang sedang ditimpa musibah, menghadiri acara maulid, acara nikahan, menghadiri pengajian kampung merupakan tajuk sosial yang harus dibudayakan di kalangan masyarakat agar selalu terjaga silaturahmi antar masyarakat. Jangan sampai kesibukan pribadi bisa memutuskan hubungan sesama manusia, karena bagaimanapun seseorang pasti membutuhkan bantuan dari yang lainnya, seseorang yang meninggal tidak akan bisa menguburkan dan menyalatkan dirinya sendiri.
Budaya bakti sosial seperti gotong royong pada minggu pagi, budaya yang sangat melekat di lubuk masyarakat Indonesia tempo dulu, budaya yang mencerminkan bahwa Negara kita berpaham pancasialis, demokratif, kerakyatan. Perlahan-lahan budaya gotong royong diabaikan dengan alasan banyak kesibukan yang harus dikerjakan, ada juga yang berpendapat bahwa hari minggu adalah waktunya istirahat. Gotong royong sudah menjadi kenangan di kota-kota besar, lain halnya dengan beberapa kampung yang masih eksis menjalankan gotong royong bersama warga. Lantas kata gotong royong berubah menjadi begitu asing, dan kampungan, padahal bila ditelaah lebih lanjut gotong royong mempunyai makna indah yang bisa membangkinkan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat, bekerja sama menyelesaikan suatu masalah.
Sederhananya, gotong royong dapat membuka wawasan sosial dengan tetangga dan mengenal lebih erat dengan masyarakat sekitar. Kita tidak perlu mubazir mengeluarkan uang untuk mengupah pekerja di acara pernikahan, sebab orang lain tidak akan sungkan untuk memberikan bantuan, berupa memasak, cuci piring dan sebagainya. Demikian ketika orang lain yang mengadakan acara, kita mengikut sertakan diri untuk membantu, sehingga ada pola yang terus berputar di antara masyarakat dan merekat bagaikan adat.
Namun naifnya masih ada beberapa masyarakat yang berpikiran dangkal sering memilih-milih dalam bersilaturahmi, selalu membeda-bedakan golongan dengan tingkat kemapanan, hal serupa sudah pernah terjadi pada jaman jahiliyyah, dan tentulah kita tidak ingin disamakan dengan masyarakat jahiliyyah. Sebab dari terkontaminasinya budaya dengan budaya lainnya, mungkin membawa kesan yang tidak baik bagi masyarakat itu sendiri.
Sungguh sangat disayangkan bila kita masih membeda-bedakan dalam memberi pertolongan, senang ketika melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Penyakit yang harus dihilangkan, dan dibuang jauh-jauh. Sebenarnya di era modern ini, sudah seharusnya menjadi tujuan kita bersama untuk menciptakan paradigma pembangunan kerakyatan yang lebih innovativ, kreatif dan atas dasar kebersamaan. Kini saatnya Indonesia memperlihatkan pada dunia bahwa Indonesia adalah Negara yang besar, dan sukses memperlihatkan kejayaannya, dengan diaktori oleh seluruh Rakyat yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Tanpa membedakan SARA (Suku, Ras, Agama, Antar golongan)


Tingkat kemapanan memang selalu menjadi tolak ukur dihormatinya seseorang, banyak yang mendekati dan membutuhkannya, tetapi yang harus diingat adalah waktu akan selalu berjalan, manusia tidak tahu apa yang terjadi pada kemudian hari, yang bisa dilakukannya adalah mempersiapkan segalanya untuk hari esok, alangkah baiknya menjalin relasi yang luas, mempunyai rasa sosialisasi yang tinggi, karena suatu saat kita yang membutuhkan orang lain. Mungkin hanya dengan membayarkan teman segelas kopi, bisa jadi dibalas dengan sepiring nasi.
Memasuki tahun 2015 hendaknya kita semakin mempererat silaturahmi, bukan hanya menginvestasi harta tetapi juga hubungan dan korelasi jangka panjang. Supaya tumbuh menjadi persaudaraan. Saya yakin bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang mengamalkan Hadits Nabi Muhammad SAW “Apabila kalian memasak kuah, maka perbanyaklah airnya, dan berbagilah kepada tetanggamu”. Implementasi dari Hadits tersebut akan meningkatkan ukhwah yang maha dahsyat diantara masyarakat, Amin.


Jabar Zil Ikhram

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini