Cerpenku
SATU CINTA UNTUK KELUARGA

Terlihat indah suasana senja petang, pemandangan menjelang malam yang sungguh sangat anggun, para burung kembali ke sarangnya, semuanya sibuk untuk menyambut malam hari yang ditemani bintang dan bulan. Berbeda dengan ayah yang telah bersiap untuk berlayar mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Ayah sudah menjadi nelayan selama berpuluh-puluh tahun, berangkat malam dan pulang pagi. Selanjutnya menjajakan ikan hasil tangkapannya di pasar.
Nama ayahku Sulaiman, ia seorang nelayan yang semangat dan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga, tidak ada rasa takut, atau bahkan ayah tidak pernah berkhayal bilamana nanti di tengah jalan kapalnya menjadi karam, kapalnya diserang monster, tapi ada satu hal yang ia khawatirkan, dan yang membuatnya tidak bisa berhenti untuk menoleh ke belakang, tatapan matanya menandakan rasa iba bahwa ia tidak ingin meninggalkan anak-anaknya.
Kampung kami terletak dipesisir pantai, kampung yang sejuk nan asri, di kampung kami menjadi nelayan merupakan pilihan utama untuk mata pencaharian warga. Kami sekeluarga telah tinggal bertahun-tahun dikampung ini semenjak ayah menikahi ibu.
Aku, Tiara umurku 18 tahun, anak tertua dari lima bersaudara, dua perempuan dan tiga lainnya adalah laki-laki, sekarang aku menjadi pemberi kasih sayang untuk adik-adikku. Ibuku yang menjadi panutan untuk kami semua sekarang telah pergi dari keluarga yang tidak diakuinya ini, ia tega meninggalkan keluarga yang masih butuh perhatiannya, hidup tanpa bimbingan ibu membuat keluarga ini tertatih-tatih, ada yang kurang dari keluarga ini.
Bercerita tentang ibu, ia ibu yang baik hati, cantik, meskipun sudah menjalani persalinan sebanyak lima kali, punya anak lima tidak merubah parasnya sedikitpun. Namun satu tahun belakangan, aku melihat wajah kebosanan pada ibu, bosan dengan kehidupan miskin. Kemudian benar adanya, masih sangat melekat dalam ingatanku, tepatnya satu tahun yang lalu, ketika akan berangkat sekolah, aku sudah melihat wajah ibu yang begitu gundah, antara tega dan tidak tega, pulang dari sekolah, aku tidak begitu khawatir dengan ibu yang tidak ada di rumah, ibuku bekerja sebagai petani upahan, untuk meyakinkan diri, aku bertanya Nila, adik bungsuku yang pulangnya paling cepat. “dik, ibu kemana ? tanyaku. “ibu pergi kak.” Jawab adikku. “ke sawah ya?” Tanyaku lagi. “Bukan, ibu tidak pakai baju sawah kak” jawab adikku.  Aku mulai khawatir, ku buka lemari pakaian ibu, aku kaget bukan kepalang, aku tidak menemukan sebuah pakaian punya Ibu, hatiku resah. Sepulang ayah bekerja, aku melihat keringat masih membasi badannya, aku melihat wajah periangnya yang menyembunyikan rasa lelahnya, sungguh tidak baik kelelahannya ku campuri dengan kabar buruk yang akan menyakiti hatinya, tapi aku tidak bisa menahannya, aku segera menceritakan kejadian tersebut, ayah langsung lemah tak berdaya, ia mungkin menyalahkan dirinya yang tidak bisa membuat istrinya tercinta itu hidup bahagia. Ibu mungkin telah menemukan keluarga yang diinginkannya, dan dapat membuatnya bahagia.
Kepergian ibu sangat berdampak pada psikisku dan adik-adikku. Semenjak saat itu kami merasa hilangnya rasa cinta antara kami berlima, aku sebagai kakak juga tidak bisa mengontrol keegoisanku, aku tidak mau mengalah begitu saja dengan adik-adikku. Seharusnya sebagai kakak, tulang punggung keluarga, aku bisa menjadi suri tauladan yang baik, berusaha memulihkan keluargaku, membantu ayah mencari uang untuk membiayai sekolah adik-adikku, agar mereka menemukan cahaya kehidupan.
Sudah satu tahun kami lalui, dan ibu tidak di sisi kami, ayah tidak ingin mengejar ibu, karena ibu tidak mungkin mau kembali. Ayah bekerja seperti biasanya, tidak ingin terlelap dalam kesedihan, mengarungi laut, berteman dengan angin malam dan bersemangat setiap harinya, begitu tegar hatinya, ayah telah merelakan kepergian ibu, ia bertekad ingin membahagiakan kami semua, anak-anaknya. Sebelum berangkat bekerja ayah tidak lupa memintaku untuk menyiapkan segala keperluan untuk adik-adikku sekolah esok paginya, ayah begitu percaya dan sayang padaku, setelah menyampaikan pesannya, ayah berlalu dengan kapal kecilnya, angin dan gelombang laut yang membuat kapal kecil ayah terdorong dan menghilang di balik gelapnya malam.
Pada pagi hari, seperti biasanya aku bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan pagi buat adik-adikku yang akan berangkat ke sekolah, kupakaikan mereka seragam sekolah, seragam putih yang mengingatkanku pada dunia pendidikan yang mengharukan, tapi kini aku harus melupakannya, aku tidak mungkin bisa bersekolah di perguruan tinggi, karena biaya yang sangat mahal. Aku juga mengantar adik-adikku ke sekolah, ini semua ku lakukan untuk menjalankan amanah dari ayahku. Kadang-kadang aku merasa kesal dengan tingkah laku adik-adikku,yang membuatku emosi, mereka bisa dibilang bandel, mungkin itu merupakan hal yang wajar, mereka tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari Ibu karena ibu sudah meninggalkan mereka sejak mereka kecil. Kadang pula timbul dalam hatiku rasa benci, dan ingin pergi dari mereka, “ah, pikirku, aku tidak boleh seperti ibu, aku harus lebih sabar menghadapi ini semua, aku percaya habis gelap terbitlah terang, kata-kata itu yang selalu aku genggam sebagai pedoman hidup, hari ini bisa saja gelap, dan besok mungkin akan menjadi hari yang terang”. Aku harus mengerti, bahwa mereka masih kecil dan belum memahami keadaan.
Suasana nyaman dan tenang terasa olehku, yang sebelumnya terasa seperti pasar, karena adik-adikku yang sangat ribut, begitulah mereka pagi-pagi sudah membuat ulah. Kini aku sudah merindukan kepulangan ayah, aku menyusuri jalan menuju ke arah pantai, ternyata telah banyak nelayan yang kembali dengan bahagia, membawa ikan hasil tangkapannya yang akan menjadi rezeki baginya dan keluarganya. Aku masih menunggu-nunggu orang yang paling berjasa untukku, orang yang memanjakanku, yang selalu mengelus-ngelus pipiku, meskipun tangannya terasa kasar.
Lama sudah aku menantinya, tapi perahunya yang mungil itu belum juga kelihatan, akhirnya aku duduk dibawah pohon yang rindang terasa begitu nyaman nan sejuk, tapi semua itu tidak menjadikan hatiku tenang, aku merasa sangat khawatir. Jam sudah menunjukkan pukul 09:00 Wib, masih tidak ada satu kapal pun yang muncul
Pagi berganti malam, ayah juga belum kembali. Aku dan adik-adikku telah berkumpul di pantai menanti sang pujaan kami semua, suasana pilu di wajah adik-adikku, mereka biasanya selalu membuat ribut, saling merebut barang yang tidak penting untuknya, dimana saja berkumpul mereka selalu bercanda satu sama lain, tapi sekarang suasana terbalik, mereka juga merasakan sedih, apalagi adikku yang paling kecil, Nila, aku tidak tega melihatnya menangis dan memanggil-manggil nama ayah. Aku mencoba menghiburnya, membuka pembicaraan untuk mencairkan suasana,”Dik, ayo, kita pulang. Ayah pasti pulang. Mereka menuruti seruanku dan kami akhirnya pulang.
Sudah tiga hari ayah tidak pulang, belum ada kabar tentang ayah, aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan, kami semua larut dalam kesedihan. Aku kebingungan, seakan batu besar menghantam kepalaku, adik-adikku juga tidak mau bersekolah, ditambah lagi, Nila, adik bungsuku terkena demam, tubuhnya sangat panas, mungkin karena dalam dua hari yang lalu ia menangis sejadi-jadinya dengan memanggil-manggil nama “Ayah”. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, untuk membawanya ke rumah sakit, aku tidak mempunyai uang.
Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi, rayuan setan berbisik keras di telingaku, terlintas dalam benakku untuk meninggalkan tanggung jawabku sebagai kakak. Tepatnya pada malam hari, aku pergi meninggalkan rumah, terasa tidak tega, tapi aku sudah tidak sabar dengan keadaan seperti ini, oleh karena itu aku harus mengambil keputusan untuk pergi, sambil menangis aku mengemaskan barangku, terbayang olehku bagaimana keadaan adik-adikku nantinya bila aku pergi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara lirih, gemetar, terkesan seperti suara anak yang sedang sakit.”Kak, temani kami tidur ya? Mau kemana malam-malam bawa baju kak? Tanya adik bungsuku,” yang sedang sakit itu, aku tidak yakin ia bisa berdiri dalam keadaan demam seperti itu, “apakah karena ia mengkhawatirkanku? Dia mencariku karena dia ingin membelainya?” yang jelas pertanyaan tadi membuatku merinding dan tidak bisa berkata-kata, aku menatap matanya nan indah, senyumnya yang membuat hatiku menangis, bayangkan betapa jahatnya diriku meninggalkan adikku yang sangat menyayangiku. Aku menggendongnya dan membawanya bersama abang-abangnya yang lain, yang sudah tertidur lelap, aku membaringkan tubuhnya yang panas akibat demam itu di atas lantai yang beralaskan tikar, aku mengusap wajahnya yang halus itu, seperti ayah mengusap wajahku, lalu adikku berkata, “Nila sayang kakak”, aku terbelalak, seakan tersambar petir, kepalaku hancur, aku ingin berteriak menangis sejadi-jadinya. Aku merasa sangat tertekan, pikiran berubah tak jelas.
Aku kembali berpikir jernih, yang pada awalnya sempat terpikir olehku untuk pergi, kini aku sudah mengurung niat buruk itu, kata-kata adikku tadi begitu indah di hati, aku semakin bimbang, air mata tidak berhenti mengalir. Lama sudah aku duduk termenung, aku tidak tahu mengapa niat untuk pergi dari rumah muncul kembali, aku terpikir hari esok yang penuh dengan penderitaan, kejenuhan, dan keributan yang dibuat adik-adikku. Aku kembali mengambil tas yang sudah berisi pakaianku, berat langkah ini memang, tapi aku tidak bisa lagi menahan tanggung jawabku untuk adik-adikku dan aku pergi.
Aku berjalan menyusuri persawahan dan perkebunan, berjalan dengan penuh bimbang, yang kuharapkan aku bisa hidup sendiri, dimana pun itu, sungguh besar sifat keegoisanku saat itu, di tengah sibuk dengan lamunanku tentang harapanku, tiba-tiba dari belakangku muncul seorang laki-laki, dan dia dengan segera menempelkan tisu ke mulutku, aku mencoba melawannya, tapi tiba-tiba saja badanku tidak bisa bergerak, kesadaranku hampir hilang, tapi aku masih bisa merasakan tubuhku yang ditidurkan di semak belukar. “Oh, tidak. Ini efek dari obat bius. Ya Tuhan, apa yang akan terjadi padaku? Mengapa musibah tiada henti terjadi padaku? Au teringat pada adik-adikku, terlintas di benakku wajah-wajah imut yang telah aku tinggalkan, padahal mereka masih membutuhkanku, kasih sayang dari seorang kakak. Aku merasa bersalah terhadap mereka”.
Sinar matahari menyilaukan mataku, aku tersadar kembali, aku tidak tahu berapa lama sudah aku tak sadarkan diri, aku melihat badanku masih utuh dengan pakaian yang tak sehelai pun terlepas dari badanku, lalu ku melihat sekelilingku, alangkah terkejutnya ketika pandanganku mengarah pada sesosok lelaki tergeletak tidak jauh dari tempatku terbaring, sepertinya dia sudah tak bernyawa, yang lebih mengerikan lagi terdapat gigitan ular di seluruh badannya, aku teringat akan kejadian semalam, ternyata tuhan telah menyelamatkanku. Aku bersyukur kepada Tuhan, aku menangis terharu, aku berjanji akan menjadi kakak yang baik dan selalu menjaga adik-adikku, aku bangkit dan berlari pulang untuk bertemu dengan adik-adikku.
Sesampaiku dirumah, aku terkejut dengan keramaian di rumahku, ternyata Nila, adik bungsuku telah meninggalkan kami semua, aku tidak menyangka demam yang dideritanya membuatnya begitu menderita dan akhirnya meninggal dunia. “Aku adalah kakak paling jahat di dunia ini”, aku segera menuju tempat adikku yang berwajah mungil terbaring kaku, aku hanya bisa meminta maaf padanya dan berdoa, dan aku berjanji untuk menjadi kakak yang baik, aku telah menemukan cinta sejatiku, cinta akan keluargaku, aku akan menjadi kakak yang bertanggung jawab dan berusaha untuk membuat adik-adikku bahagia.
Hari demi hari kami lalui, terasa berat memang, tanpa kehadiran seorang yang selalu menyayangi kami, memberi kami makan. Kami masih yakin bahwa ayah akan kembali dengan selamat, kembali untuk meramaikan rumah tempat kami berteduh, tertawa bersama, bercanda gurau, aku sangat mengharapkan itu. Aku mencoba memberikan yang terbaik untuk adik-adikku, aku bekerja untuk membeli makan, biar kami tidak bisa makan tiga kali sehari, setidaknya dua kali cukup.

Aku bekerja sebagai pembantu di satu warung makan di desaku, dan warung makan tersebut letaknya di pantai, jadi aku bisa melihat aktivitas nelayan di pelabuhan, melihat pelabuhan aku menjadi ingat akan seseorang, seseorang yang selalu kusebut namanya dalam setiap doaku, hingga saat ini aku percaya bahwa ayahku masih berjuang untuk kembali ke desa berjumpa dengan buah hatinya, yang selalu menantinya.
Tibalah saat doa terkabulkan, hari kelima setelah ayah menghilang, tepat pada sore hari, aku melihat sebuah perahu kecil, yang tidak salah lagi, itu perahu ayah. Aku berteriak ceria, memanggil nama ayah, aku masih tidak percaya, lelaki yang tegar itu kembali untuk kami, aku tahu hari ini akan terjadi, dimana aku bertemu lagi dengan pahlawanku dan adik-adikku, aku memeluk erat ayahku. Ayah mengajakku pulang karena ia sangat ingin bertemu dengan anak-anaknya, sesampai di rumah adik-adikku juga merasakan keharuan yang luar biasa seperti yang kurasakan, suasana menjadi tegang, saat ayah menanyakan Nila. Tetesan air mataku tidak bisa kutahan, air mata keharuan menjadi air mata tangisan, sambil menangis aku menceritakan kecerobohanku dan apa yang terjadi pada Nila, air matanya langsung berjatuhan, ayah tidak menyalahiku, “seharusnya, ayah bisa menjaga dengan baik anak-anak ayah, Tiara, ayah bangga padamu, karena telah menjaga adik-adikmu dengan baik. Kemudian ayah menceritakan apa yang menimpanya di lautan, kapal ayah disapu badai, dan kapalnya rusak. Ayah dengan segera memperbaiki kapalnya, karena ayah masih ingin bertemu kalian, kehadiran kalianlah yang telah menyelamatkan ayah”, begitulah cerita ayahku, kisah yang penuh keajaiban, cintanya yang dalam untuk keluarganyalah yang telah menyelamatkannya dan membuatnya semangat untuk hidup.
Aku berharap Nila juga senang tersenyum melihat ayah telah kembali, ayah telah berziarah kepadanya, semoga saja Nila senang dan bahagia di alam sana, begitulah kalimat doaku setiap malam, sungguh sangat teringat kata-kata Nila,”aku mencintai kakak”, kata-kata yang membuatku ingin selalu bersujud meminta maaf atas kekhilafanku, “kakak juga mencintai Nila dik”. Bahagialah sebagai malaikat kecil yang menunggu keluarganya di syurga.




Komentar

Postingan populer dari blog ini